KAMPUNG Pitu merupakan kampung mistis yang berada di puncak sebelah timur dari Gunung Api Purba Nglanggeran. Banyak mitos yang beredar bahwa satu rumah yang dihuni lebih dari 7 orang, salah satu bisa meninggal dunia.
Sesuai dengan namanya, Pitu dalam bahasa Jawa yang artinya tujuh. Di kampung ini dipercayai oleh warga setempat hanya boleh dihuni oleh 7 kepala keluarga, tidak kurang dan tidak lebih. Bahkan, konon tidak semua orang dapat betah dan kuat tinggal di Kampung Pitu, hanya mereka yang terpilih saja yang sanggup.
Kampung kecil ini sebenarnya sama seperti kampung pada umumnya, dan merupakan bagian kecil dari sebuah desa di Padukuhan Nglanggeran Wetan, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Sesuai dengan informasi yang di dapat dari Juru Kunci Kampung Pitu, kalau ada yang nekat untuk menambah keluarga di Kampung Pitu, nyawanya akan dibawa pergi (meninggal). Bahkan sempat disebut ada orang dari luar Kampung Pitu yang tiba-tiba meninggal karena ngeyel ingin tetap bermukim di Kampung Pitu.
Kampung Pitu belum bisa berkembang karena tidak ada bangunan baru. Pasalnya kepercayaan yang masih dipegang teguh di kampung tersebut. Perihal penduduk, Sri menjelaskan dalam satu lingkungan 30 warga itu merupakan satu kerabat keluarga.
Karena terpencil dan adanya mitos itu, maka jalur ke Kampung Pitu tidak bisa dilalui dengan mudah dan hanya bisa dilewati roda dua saja. Saat ini, untuk melepas mitos tersebut ada pembangunan jalur kendaraan.
Misteri Kampung pitu Gunungkidul
Legenda Kampung Pitu berawal dari ditemukannya sebuah pohon kina Gadung Walung oleh seorang abdi Keraton Yogyakarta. Ternyata di dalam pohon tersebut terdapat sebuah benda pusaka yang konon memiliki kekuatan besar.
"Awalnya Kampung Pitu itu bernama Telogo Guyangan dalam arti Jawa adalah Telaga Tempat Memandikan Ternak.
Telogo Guyangan pun diyakini merupakan telaga yang awalnya digunakan untuk memandikan kuda sembrani, kuda gaib tunggangan para Bidadari. Konon ceritanya setiap kuda sembrani yang dimandikan di Telogo Guyangan akan meninggalkan jejak di Gunung Api Purba Nglanggeran.
Dulunya para Abdi dalem Keraton sering mengambil telapak kaki kuda tersebut dengan doa-doa tertentu. Cerita ini dipercaya secara turun temurun. Bahkan warga menyakini, sisa tapak kaki kuda sembrani masih ada hingga saat ini.
Di sekitar Telogo Guyangan, sempat diadakan sayembara oleh abdi keraton. Sayembara itu berbunyi, siapa saja yang mampu untuk merawat atau menjaga benda pusaka yang terdapat di dalam pohon kina Gadung Walung, akan diberi imbalan berupa tanah secukupnya untuk anak-anak keturunannya.
Konon, Eyang Iro Kromo-lah yang akhirnya berhasil menjaga pohon tersebut, dan kemudian anak cucunya diperkenankan tinggal di tempat tersebut.
Setelah kejadian tersebut banyak orang-orang sakti yang berdatangan dan ingin tinggal di daerah Kampung Pitu. Namun yang bertahan hanya tinggal tujuh orang sedangkan yang lain meninggal.
"Sekarang pusakanya di mana ya engga kelihatan, tapi ada. Gunung Nglanggeran itu kan kepalanya Gunung Merapi, jadi memang sakral, tanahnya berbahaya di sini. Enggak semua orang kuat tinggal di sini," ungkap Redjo, yang masih keturunan Eyang Iro Kromo.
Redjo kini sudah berusia sekitar 103 tahun, tapi catatan-catatan dari beliaulah yang menjadi warisan bagi anak keturunan warga Kampung Pitu kelak. Redjo mengatakan, bahwa desanya ini telah ada sejak 1400-an. Namun menariknya, selama waktu yang begitu panjang, desa tersebut baru memiliki empat juru kunci.
Tidak jauh dari rumah Redjo, terdapat makam kuno tempat para sesepuh dan warga Kampung Pitu disemayamkan. Dalam bahasa Jawa halus, Redjo menuturkan bahwa pantangan tujuh KK di Kampung Pitu memang sangat genting.
Aturan utamanya soal tujuh KK dan kepemilikan turun-temurun harus dipatuhi, jika tidak nyawa yang jadi taruhannya. Total dari 7 KK yang menguhuni ada sekira 30 anggota keluarga.
Mitos yang terus dibuktikan dengan kenyataan
Dari keunikan kampung tersebut, tidak heran banyak wisatawan yang ingin melihat langsung lokasinya. Bahkan ada beberapa pula yang kemudian memutuskan tinggal. Warga di Kampung Pitu mengaku tidak pernah melarang bila ada orang yang ingin tinggal tapi harus siap menerima risikonya.
"Kalau ada orang ingin tinggal di sini silahkan saja, nggak ada yang ngelarang. Cuma sudah diperingatkan, nggak semua orang kuat tinggal di sini," ujar Redjo.
Dirinya mengingat suatu hari di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ada satu kyai yang tiba-tiba datang dan bersikukuh ingin tinggal di sana, hingga akhirnya meninggal tanpa sebab. Kejadian tersebut beberapa kali terjadi hingga tidak ada yang berani lagi mencoba.
Pak Kyai beralasan ini tanah negara jadi bebas ditinggali. Dia mau jadi keluarga ke-8, saya peringatkan kalau itu melanggar adat, dia ngeyel. akhirnya belum selesai bangun rumah, tiba-tiba saja dia meninggal nggak tahu sebabnya," kenangnya.
Menurut Redjo, pantangan itu didasari hukum alam bahwa jumlah semesta itu ada tujuh. Dirinya percaya bahwa desanya adalah papan pancer alias pusat semesta, maka dari itu keseimbangan harus dijaga. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan orang luar untuk tinggal di Kampung Pitu adalah dengan menikahi warga sana.
Dilarang Menyelenggarakan Pertunjukan Wayang
Selain terkait jumlah keluarga yang harus menempati, ada juga pantangan lain yang masih dipercaya oleh masyarakat Kampung Pitu hingga saat ini. Warga Kampung Pitu dilarang menyelenggarakan pertunjukan wayang, apalagi dengan lakon Raden Ongko Wijaya.
Semasa kecil, Redjo melihat sendiri salah satu warga digorok oleh 'pelaku misterius' ketika kepala desanya menggelar wayangan untuk memeringati ulang tahun.
"Kalau punya niat macam-macam, apalagi sampai melanggar pantangan, nggak akan pulang dengan selamat. Tubuhnya mungkin pulang, tapi nyawanya entah kemana," tandas Redjo lagi.
Ekosistem Kampung Pitu yang tetap terjaga
Kampung Pitu sendiri sebenarnya bukan benar-benar kampung, ia adalah bagian kecil dari desa. Rumah-rumah di sana berdiri berjauhan, ini karena topografi tanah yang tidak rata dan juga batas kepemilikan tanah yang luas.
Rumah-rumah disana hampir semua berbentuk limasan Jawa, namun beberapa sudah lebih modern. Warga Kampung Pitu menjalankan syariat islam dengan sinkretisme ajaran Jawa. Di samping rumah, terdapat kandang kambing dan sapi, mereka tidak pernah kekurangan makan.
Dengan adanya peraturan adat, secara teknis membuat ekosistem di Kampung Pitu terjaga. Satu keluarga di Kampung Pitu rata-rata punya tanah seluas 1 hektare, secara keseluruhan lebih banyak tanaman ketimbang bangunan buatan manusia.
Kampung Pitu juga bebas dari risiko polusi udara dan suara karena mata pencarian warganya adalah bertani dan berkebun sehingga udara di Kampung Pitu sejuk dan tanahnya subur. Selama ini, penambahan dan pengurangan KK dalam trah Iro Kromo berlangsung secara organik.
"Seperti sudah diatur. Kalau anaknya banyak, biasanya cuma 1-2 yang tinggal di sini. Kalau ada yang ingin daftar KK sendiri, biasanya ada aja yang tiba-tiba meninggal. Selalu begitu dari dulu, otomatis," jelasnya.
Dalino, salah satu warga Kampung Pitu yang menetap setelah menikah dengan salah satu trah keluarga Iro Kromo, tak mau banyak berkomentar tentang aspek mistis desa yang ia tinggali. Soal pantangan tujuh KK pun, ia lebih memilih alasan yang lebih logis.
Mungkin dari dulu tujuh itu karena akses ke sini memang susah, apalagi kalau hujan jalanan ke bawah itu jadi lumpur semua. Pas saya pindah ke sini masih zaman larangan pangan, panen cuma sekali setahun, itupun diganggu sama hama kera, secara ekonomis susah," terang Dalino.
Memang, mitos yang melingkupi Kampung Pitu sulit dijelaskan secara rasional, tapi dampak terhadap ekosistem lingkungan bisa dirasakan oleh warganya sendiri. Karena itu, Redjo sebagai juru kunci masih punya tugas untuk tetap menjaga jalannya tradisi di puncak gunung Nglanggeran tersebut.
Posting Komentar untuk "Misteri Kampung Pitu Gunungkidul : Nyawa Bisa Jadi Taruhannya Jika Melebihi 7 Keluarga"